Thursday, March 21, 2013

PINK!

Aku tahu pasti kok, rasa sesaknya mempunyai cinta terlarang. Di luar harus terlihat tegar dan kuat, sementara perasaan di dalam hati seperti diblender, hancur lebur nggak karuan. Jadi untuk siapakah cinta terlarang dariku ini? Sudah cukup lama aku memendamnya, rasanya nggak mungkin untuk diungkapkan. Semua serba salah kalau ketahuan. Aku nggak jatuh cinta pada ibuku, apalagi nenekku. Aku juga nggak jatuh cinta dengan istri atau suami orang. Aku cuma… aku… aku…. Oke, aku harus tarik nafas sedalam mungkin sebelum mengatakan yang sejujurnya. 

Aku… Aku suka banget dengan semua hal berwarna pink. Simpel kan? Iya, semuanya simpel kalau aku seorang perempuan. Masalahnya aku adalah lelaki tulen, meskipun badanku nggak semacho pria di iklan susu berprotein tinggi, dan wajahku juga bersih dari jenggot dan kumis. Harusnya sih aku mungkin nggak perlu segitu malunya kalau ketahuan suka warna pink, tapi aku malah dibilang banci kalau sampai ada yang tahu. Kenapa ya, aku bisa sampai paranoid kalau teman-temanku tahu sifatku yang maniak warna pink?

Nilai historis warna pink buatku hanya karena Leah cewek populer di SMA dulu memberiku tempat pensil pink sewaktu acara tukar kado. Sejak saat itu kalau lihat pink pasti ingat Leah, aku bahkan mulai tertarik dengan benda-benda pink yang menurutku keren. Kesan dengan Leah malah nggak bertahan lama sejak dia kuliah ke luar negeri, sialnya virus warna pink semakin lama bercokol di otakku.  Aku sampai punya opini sendiri untuk warna merah jambu itu. Oke, pink memang dominan dipakai cewek, tapi nggak ada undang-undangnya kan kalau seorang cowok dilarang suka warna pink.  Warna pink sebenarnya menyenangkan, terlihat cerah tapi lembut, sebelas dua belas deh sama sifatku, tapi…. Aku nggak pernah berani berorasi membela warna pink layaknya mahasiswa yang sedang demonstrasi.
#####
Ada pro ada kontra. Kalau aku ada di tempat pecinta warna pink, lain lagi dengan gadis bernama Fausta yang sering bersumpah padaku kalau ia setengah mati membenci warna pink. Ia bahkan sempat kesal dan ngedumel seharian gara-gara warna tembok di kamarnya diganti menjadi merah muda. Kalau ia sudah mencela warna pink, aku cuma bisa mengangguk tidak setuju.
“Gue rasa nggak ada yang lebih buruk dari warna pink, mata gue pusing ngeliat kamar gue jadi pinky!”
Kupingku sebenarnya panas mendengarkan Fausta dengan umpatan warna pinknya, sebagai antidota aku hanya menatap matanya yang besar dan indah, tidak lupa mengamati bibirnya yang lucu saat bicara. Omongan Fausta mungkin sudah dari a sampai z, tapi otakku hanya stuck menikmati wajahnya yang manis, iya aku tahu aku useless. Lagipula siapa suruh dia mengumpat warna pink, kalau topik lain aku janji akan mendengarkannya seratus persen.
“Kira-kira wallpaper warna apa ya yang bisa mengimbangi silaunya warna pink?”
Eh Fausta nanya apa sih?
“Oke, bagus kok”
Sedetik kemudian kepalan tangannya yang cukup keras mampir di bahuku. Ya Tuhan, gadis ini tidak bisa mengukur kekuatannya atau ini memang pukulannya yang paling pelan. 
Aku dan gadis itu sudah saling kenal selama dua tahun ini. Kantornya di daerah ruko seberang gedung kantorku. Kalau kalian pikir Fausta itu manis seperti putri-putri Disney jawabannya adalah salah besar. Gadis itu berwajah manis tapi kelakuannya seperti kernet metromini. Namun akhirnya aku suka gaya tawanya yang lepas meski sedikit mengerikan, bila sehari tidak mendengar curhat tentang pasiennya di klinik hewan aku merasa kangen, dan aku suka tatapannya yang khawatir melihat mata panda di balik kacamata minusku.  
Aku jatuh cinta dengannya, dan mudah-mudahan dia pun begitu. Aku menyukai warna pink tapi dia membenci pink. Sudah dibuktikan sejak kami bertemu seorang pinky boy di salah satu café, Fausta langsung mengadakan deklarasi sendiri di depanku. Sebenarnya aku kesal tentang pendapatnya mengenai warna pink. Kalau cowok pakai pink nggak mungkin cocok lah, warna norak lah. Kepalaku hampir panas dibuatnya. Berhubung aku orangnya cinta damai, aku langsung habiskan kopiku dan bergegas ke toilet untuk menenangkan diri. Kubuka galeri di ponsel lalu memandangi foto mug warna pink yang baru kupesan lewat online shop. Ya Tuhan, begitu tenangnya mataku disuguhi warna merah jambu. Aku senyum-senyum sendiri, lalu kembali ke meja dengan wajah kalem seperti biasa. Kalau begini terus aku bisa capek sendiri, tapi aku nggak mau Fausta ilfeel melihat antusiasku tentang warna pink, apalagi kalau ia tahu aku juga menjadi member online shop yang menjual khusus pink things.


##### 

Dari sekian banyak barang di toko, mataku langsung tertuju dengan jam waker mungil yang pastinya berwarna merah jambu. Wah kebetulan, harganya juga nggak terlalu mahal meski bentuknya unik. Sekarang aku ngerti kenapa ayahku bisa pulang ke rumah membawa berbagai barang antik kalau pergi ke luar kota. Omong-omong ada juga jam waker pink lain bentuknya babi, nah itu juga ada lagi yang bentuk bintang. Sial, apa aku harus beli semua modelnya?
“Satya…..!”
Panggilan untukku berasal dari ujung sana, ia memanggilku sambil tersenyum manis. Rasanya kalau ada musik india, aku langsung berlari menghampirinya, dan memeluk Fausta sepenuh hati. Maklum, sudah dua hari nggak ketemu. Tiba-tiba saja ia sudah berdiri di sampingku lalu mengerutkan keningnya.
“Ih! Jam waker pink”  
Kemudian matanya melirik apa yang kugenggam dengan tatapan heran.
“Lo mau beli semua jam itu? Buat siapa?”
Aku jelas nggak bisa kabur, pura-pura pingsan, atau semaput di depan Fausta. Kalau memutar fakta, itu memang disarankan saat ini, tapi kata nenek berbohong itu dosa.
“Kado buat siapa sih? Kan ada warna lain Satya, kenapa harus pink?” Tangan Fausta mulai sibuk memilih-milih deretan jam waker.
“Kalau lo mau warna lembut, biru muda lebih bagus, atau orange nih. Hijau juga segar”
Aku menarik nafas perlahan, semua warna biasa aja, kecuali warna pink.
“Aku sukanya warna pink”
“Apa?!” Fausta menatapku sepenuhnya, degupan jantungku mendadak nggak santai.
“Pink, aku suka warna pink. Aku serius nih”
Tawa gadis itu meledak di toko yang sunyi ini. Mama, aku malu nih! Dilihat dari cermin, wajahku pasti merah.
“Satya, lo kocak banget sih. Beneran lo suka warna pink? Kenapa harus pink?”
Kalem Satya, kalem… Aku berdehem pelan, mencoba mengumpulkan rasa PD. Fausta dan tawanya semakin susah dihentikan.
“Ada banyak warna di dunia ini, tapi aku suka warna pink. Sama seperti manusia, banyak ragamnya, tapi… cuma kamu yang aku pilih”
“Hahaha Satya… jadi lo nyamain gue sama warna pink?”
Aku Cuma bisa garuk-garuk kepala, kenapa jadi begini? Kenapa aku harus jujur sekarang?
“Kamu mau nerima aku nggak yang pink lover ini?”
“Lo gila Sat, suka warna pink. Tapi Cuma satu permintaan gue, jangan pernah pake t-shirt ketat warna pink”
Kami tertawa bersama, tak peduli para pramuniaga melihat kami dengan tatapan aneh. 
“I love you, pinky man” Fausta mengucapkannya pelan tapi pasti. Tangan kananku menggenggam jemarinya, sementara tangan kiri tetap memegang keranjang belanja berisi tiga jam waker berwarna pink.