Aku tahu
pasti kok, rasa sesaknya mempunyai cinta terlarang. Di luar harus terlihat
tegar dan kuat, sementara perasaan di dalam hati seperti diblender, hancur
lebur nggak karuan. Jadi untuk siapakah cinta terlarang dariku ini? Sudah cukup
lama aku memendamnya, rasanya nggak mungkin untuk diungkapkan. Semua serba
salah kalau ketahuan. Aku nggak jatuh cinta pada ibuku, apalagi nenekku. Aku
juga nggak jatuh cinta dengan istri atau suami orang. Aku cuma… aku… aku…. Oke,
aku harus tarik nafas sedalam mungkin sebelum mengatakan yang sejujurnya.
Aku… Aku suka
banget dengan semua hal berwarna pink. Simpel kan? Iya, semuanya simpel kalau
aku seorang perempuan. Masalahnya aku adalah lelaki tulen, meskipun badanku
nggak semacho pria di iklan susu berprotein tinggi, dan wajahku juga bersih
dari jenggot dan kumis. Harusnya sih aku mungkin nggak perlu segitu malunya
kalau ketahuan suka warna pink, tapi aku malah dibilang banci kalau sampai ada
yang tahu. Kenapa ya, aku bisa sampai paranoid kalau teman-temanku tahu sifatku
yang maniak warna pink?
Nilai
historis warna pink buatku hanya karena Leah cewek populer di SMA dulu
memberiku tempat pensil pink sewaktu acara tukar kado. Sejak saat itu kalau lihat
pink pasti ingat Leah, aku bahkan mulai tertarik dengan benda-benda pink yang
menurutku keren. Kesan dengan Leah malah nggak bertahan lama sejak dia kuliah
ke luar negeri, sialnya virus warna pink semakin lama bercokol di otakku. Aku sampai punya opini sendiri untuk warna
merah jambu itu. Oke, pink memang dominan dipakai cewek, tapi nggak ada
undang-undangnya kan kalau seorang cowok dilarang suka warna pink. Warna pink sebenarnya menyenangkan, terlihat
cerah tapi lembut, sebelas dua belas deh sama sifatku, tapi…. Aku nggak pernah
berani berorasi membela warna pink layaknya mahasiswa yang sedang demonstrasi.
#####
Ada pro ada kontra. Kalau aku ada di tempat pecinta warna pink, lain lagi dengan gadis bernama Fausta yang sering bersumpah padaku kalau ia setengah mati membenci warna pink. Ia bahkan sempat kesal dan ngedumel seharian gara-gara warna tembok di kamarnya diganti menjadi merah muda. Kalau ia sudah mencela warna pink, aku cuma bisa mengangguktidak setuju.
“Gue rasa nggak ada yang lebih buruk dari warna pink, mata gue pusing ngeliat kamar gue jadi pinky!”
Kupingku sebenarnya panas mendengarkan Fausta dengan umpatan warna pinknya, sebagai antidota aku hanya menatap matanya yang besar dan indah, tidak lupa mengamati bibirnya yang lucu saat bicara. Omongan Fausta mungkin sudah dari a sampai z, tapi otakku hanya stuck menikmati wajahnya yang manis, iya aku tahu aku useless. Lagipula siapa suruh dia mengumpat warna pink, kalau topik lain aku janji akan mendengarkannya seratus persen.
“Kira-kira wallpaper warna apa ya yang bisa mengimbangi silaunya warna pink?”
Eh Fausta nanya apa sih?
“Oke, bagus kok”
Sedetik kemudian kepalan tangannya yang cukup keras mampir di bahuku. Ya Tuhan, gadis ini tidak bisa mengukur kekuatannya atau ini memang pukulannya yang paling pelan.
Aku dan gadis itu sudah saling kenal selama dua tahun ini. Kantornya di daerah ruko seberang gedung kantorku. Kalau kalian pikir Fausta itu manis seperti putri-putri Disney jawabannya adalah salah besar. Gadis itu berwajah manis tapi kelakuannya seperti kernet metromini. Namun akhirnya aku suka gaya tawanya yang lepas meski sedikit mengerikan, bila sehari tidak mendengar curhat tentang pasiennya di klinik hewan aku merasa kangen, dan aku suka tatapannya yang khawatir melihat mata panda di balik kacamata minusku.
Aku jatuh cinta dengannya, dan mudah-mudahan dia pun begitu. Aku menyukai warna pink tapi dia membenci pink. Sudah dibuktikan sejak kami bertemu seorang pinky boy di salah satu café, Fausta langsung mengadakan deklarasi sendiri di depanku. Sebenarnya aku kesal tentang pendapatnya mengenai warna pink. Kalau cowok pakai pink nggak mungkin cocok lah, warna norak lah. Kepalaku hampir panas dibuatnya. Berhubung aku orangnya cinta damai, aku langsung habiskan kopiku dan bergegas ke toilet untuk menenangkan diri. Kubuka galeri di ponsel lalu memandangi foto mug warna pink yang baru kupesan lewat online shop. Ya Tuhan, begitu tenangnya mataku disuguhi warna merah jambu. Aku senyum-senyum sendiri, lalu kembali ke meja dengan wajah kalem seperti biasa. Kalau begini terus aku bisa capek sendiri, tapi aku nggak mau Fausta ilfeel melihat antusiasku tentang warna pink, apalagi kalau ia tahu aku juga menjadi member online shop yang menjual khusus pink things.
Ada pro ada kontra. Kalau aku ada di tempat pecinta warna pink, lain lagi dengan gadis bernama Fausta yang sering bersumpah padaku kalau ia setengah mati membenci warna pink. Ia bahkan sempat kesal dan ngedumel seharian gara-gara warna tembok di kamarnya diganti menjadi merah muda. Kalau ia sudah mencela warna pink, aku cuma bisa mengangguk
“Gue rasa nggak ada yang lebih buruk dari warna pink, mata gue pusing ngeliat kamar gue jadi pinky!”
Kupingku sebenarnya panas mendengarkan Fausta dengan umpatan warna pinknya, sebagai antidota aku hanya menatap matanya yang besar dan indah, tidak lupa mengamati bibirnya yang lucu saat bicara. Omongan Fausta mungkin sudah dari a sampai z, tapi otakku hanya stuck menikmati wajahnya yang manis, iya aku tahu aku useless. Lagipula siapa suruh dia mengumpat warna pink, kalau topik lain aku janji akan mendengarkannya seratus persen.
“Kira-kira wallpaper warna apa ya yang bisa mengimbangi silaunya warna pink?”
Eh Fausta nanya apa sih?
“Oke, bagus kok”
Sedetik kemudian kepalan tangannya yang cukup keras mampir di bahuku. Ya Tuhan, gadis ini tidak bisa mengukur kekuatannya atau ini memang pukulannya yang paling pelan.
Aku dan gadis itu sudah saling kenal selama dua tahun ini. Kantornya di daerah ruko seberang gedung kantorku. Kalau kalian pikir Fausta itu manis seperti putri-putri Disney jawabannya adalah salah besar. Gadis itu berwajah manis tapi kelakuannya seperti kernet metromini. Namun akhirnya aku suka gaya tawanya yang lepas meski sedikit mengerikan, bila sehari tidak mendengar curhat tentang pasiennya di klinik hewan aku merasa kangen, dan aku suka tatapannya yang khawatir melihat mata panda di balik kacamata minusku.
Aku jatuh cinta dengannya, dan mudah-mudahan dia pun begitu. Aku menyukai warna pink tapi dia membenci pink. Sudah dibuktikan sejak kami bertemu seorang pinky boy di salah satu café, Fausta langsung mengadakan deklarasi sendiri di depanku. Sebenarnya aku kesal tentang pendapatnya mengenai warna pink. Kalau cowok pakai pink nggak mungkin cocok lah, warna norak lah. Kepalaku hampir panas dibuatnya. Berhubung aku orangnya cinta damai, aku langsung habiskan kopiku dan bergegas ke toilet untuk menenangkan diri. Kubuka galeri di ponsel lalu memandangi foto mug warna pink yang baru kupesan lewat online shop. Ya Tuhan, begitu tenangnya mataku disuguhi warna merah jambu. Aku senyum-senyum sendiri, lalu kembali ke meja dengan wajah kalem seperti biasa. Kalau begini terus aku bisa capek sendiri, tapi aku nggak mau Fausta ilfeel melihat antusiasku tentang warna pink, apalagi kalau ia tahu aku juga menjadi member online shop yang menjual khusus pink things.
#####
Panggilan untukku berasal dari ujung
sana, ia memanggilku sambil tersenyum manis. Rasanya kalau ada musik india, aku
langsung berlari menghampirinya, dan memeluk Fausta sepenuh hati. Maklum, sudah
dua hari nggak ketemu. Tiba-tiba saja ia sudah berdiri di sampingku lalu
mengerutkan keningnya.
“Ih! Jam waker pink”
Kemudian matanya melirik apa yang kugenggam
dengan tatapan heran.
“Lo mau beli semua jam itu? Buat
siapa?”
Aku jelas nggak bisa kabur, pura-pura
pingsan, atau semaput di depan Fausta. Kalau memutar fakta, itu memang
disarankan saat ini, tapi kata nenek berbohong itu dosa.
“Kado buat siapa sih? Kan ada warna
lain Satya, kenapa harus pink?” Tangan Fausta mulai sibuk memilih-milih deretan
jam waker.
“Kalau lo mau warna lembut, biru muda
lebih bagus, atau orange nih. Hijau juga segar”
Aku menarik nafas perlahan, semua
warna biasa aja, kecuali warna pink.
“Aku sukanya warna pink”
“Apa?!” Fausta menatapku sepenuhnya,
degupan jantungku mendadak nggak santai.
“Pink, aku suka warna pink. Aku
serius nih”
Tawa gadis itu meledak di toko yang
sunyi ini. Mama, aku malu nih! Dilihat dari cermin, wajahku pasti merah.
“Satya, lo kocak banget sih. Beneran
lo suka warna pink? Kenapa harus pink?”
Kalem Satya, kalem… Aku berdehem
pelan, mencoba mengumpulkan rasa PD. Fausta dan tawanya semakin susah
dihentikan.
“Ada banyak warna di dunia ini, tapi
aku suka warna pink. Sama seperti manusia, banyak ragamnya, tapi… cuma kamu
yang aku pilih”
“Hahaha Satya… jadi lo nyamain gue
sama warna pink?”
Aku Cuma bisa garuk-garuk kepala,
kenapa jadi begini? Kenapa aku harus jujur sekarang?
“Kamu mau nerima aku nggak yang pink
lover ini?”
“Lo gila Sat, suka warna pink. Tapi
Cuma satu permintaan gue, jangan pernah pake t-shirt ketat warna pink”
Kami tertawa bersama, tak peduli para
pramuniaga melihat kami dengan tatapan aneh.
“I love you, pinky man” Fausta
mengucapkannya pelan tapi pasti. Tangan kananku menggenggam jemarinya, sementara
tangan kiri tetap memegang keranjang belanja berisi tiga jam waker berwarna
pink.