Seumur hidup
baru kali ini Felin merasa sangat bersalah, tega
membentak adik kelasnya. Adalah kelompok tiga yang
menurutnya paling menyebalkan sudah seenaknya datang terlambat dan membuat tekanan darahnya naik seketika. Seperti hakim yang shock menjerumuskan terdakwa tak
bersalah, begitu juga dengan Felin yang langsung luluh lantak menangkap
bayangan seorang junior berwajah innocent, penuh keringat, kepanasan, dan menerima push up sebagai hukuman.
Dalam hati ia menyesal mengapa cowok dengan wajah lugu
itu harus berada di gudangnya kelompok junior
cowok tengil, sementara sikap manja junior
ceweknya benar-benar membuatnya gerah.
Si lugu itu memang
tidak pingsan apalagi kejang setelah push
up, ia tetap berdiri tegak meskipun susah payah memperbaiki name tag yang tergantung di leher.
Kacaunya, tidak ada sama sekali foto yang menempel di name tag. Dari jauh, Yudha sudah menatap kelompok malang itu dengan
tajam, bisa dipastikan cowok lugu itu akan menjadi mangsa selanjutnya. Bentakan
Yudha bahkan sudah dikategorikan paling horor oleh mahasiswa baru. Felin
menggaruk kepalanya bingung, mencegah Yudha berbuat anarkis, nanti reputasinya
sebagai senior satuan disiplin bisa rusak, sementara kalau didiamkan? Rasanya
nggak manusiawi melihat wajah adik kelasnya semakin merah gara-gara kelelahan
dan menahan emosi. Ia memilih menarik langkah menjauh, lebih baik merapikan
barisan lain yang mulai ribut, daripada harus melihat Yudha menghabisi cowok
lugu itu.
***
Makhluk innocent itu ternyata bernama Mikael Turangan.
Tubuhnya tinggi kurus, wajahnya yang tidak terlalu putih cukup menunjukan kalau
ia hari ini pucat. Semua panitia masa orientasi fakultas dibuat pusing dengan
hilangnya catatan kesehatan Mikael sementara cowok itu tiba-tiba berada di
barisannya dengan wajah pucat. Tim medis yang seharusnya siap sedia malah
mengadakan gosip pagi di ruang medis, sedangkan yang pertama sadar kalau
kondisi Mikael semakin mengkhawatirkan adalah Pak Dibyo, dosen kemahasiswaan
yang sedang memberi materi di depan mahasiswa baru. Habislah sudah semua
panitia diberi peringatan keras karena tidak bisa menjaga adik kelasnya dengan
baik dan benar. Mikael yang pucat, bahkan tetap berkeras dirinya sehat sebelum
Nila anggota tim medis memintanya untuk beristirahat ke ruang medis. Kalau itu
sih, semua cowok berhati harimau juga akan luluh jika sudah bertemu Nila yang
manis.
“Jadi sebenernya kamu sakit apa sih?!”
Mikael terlihat canggung menjadi pasien pertama di ruang medis, setelan
wajah Felin memang sudah begini dari sananya. Kalau mau lebih manis, tentu
gadis itu harus tersenyum, tapi kan ia sedang bertugas menjadi satuan disiplin
yang haram untuk tersenyum.
“Saya nggak ada sakit berat kak, cuma
magh. Belum sarapan, udah dua hari ini begitu dan sering begadang”
“Pinter!”
Felin berdecak kesal melihat adik kelasnya, cowok didepannya terlihat
seperti anak kucing yang masih takut berada di rumah majikan baru. Rasanya
kesal mendengar alasan Mikael, menyebalkan melihat cowok itu tidak bisa menjaga
kesehatannya. Seharusnya mahasiswa yang sudah jauh dari orangtua bisa menjaga
diri, mengatur pola makan, menjaga kesehatan. Felin malah heran jadi
ngomel-ngomel sendiri di dalam hati.
“Cowok kok sakit? Udah tahu masa orientasi kalian tuh berat, masih nggak
bisa jaga kesehatan?!”
“Maaf kak”
Dari pintu ruang medis seperti ada sinar yang menyilaukan, kedatangan
Nila dan harum teh manisnya membuat Mikael bersikap lebih tenang dan sumringah.
Sial! Kenapa sih cewek ini cepat datang? Felin merasa kehilangan moment memberi nasihatnya untuk Mikael.
“Wah Felin… Lo itu satuan disiplin apa emaknya Mikael? Perhatian banget
sih…. Cie.. cie…”
Dilihat dari sudut apapun, Nila memang sudah manis dari sananya. Felin
hanya bisa tersenyum masam.
“Gue nggak mau liat muka lo pucat lagi! Jangan kelamaan istirahat!”
Sebelum Mikael menjawab, Felin lebih baik kembali ke auditorium,
mengawasi adik kelasnya yang masih mendengarkan materi talkshow.
Mengingat candaan Nila, ia sedikit tak terima dan membuat pembelaan
diri. Lagi pula siapa sih yang nggak kesal melihat adik kelas yang harusnya
dibimbing dan ditempa malah sakit, artinya nasihat mereka selama ini nggak
didengar hingga Mikael sakit begitu? Atau jangan-jangan cowok itu bergadang
demi menyelesaikan tugas karena malas berurusan dengan satuan disiplin yang
hobi membentak? Intinya, Felin nggak tega melihat Mikael yang innocent harus jadi bulan-bulanan satuan
disiplin, bahkan harus sakit.
Beberapa langkah menjauhi ruang medis, ia jadi penasaran sedang apa
cowok itu disana. Mikael tersipu malu sambil mengobrol dengan Nila di ruang
medis, dan situasi paling buruk menurut Felin adalah mereka hanya berdua disana.
Sial! Tatapan Mikael begitu lembut, senyumnya nampak santai. Kenapa sih Nila
harus karismatik dan manis?! Felin berani bertaruh, kalau sudah begini Mikael
pasti memilih cewek manis itu sebgai panitia favoritnya, bukan dia. Jelas saja,
kerjaan Felin hanya membentak, cemberut, melotot. Penjaga kampus yang biasanya
ramah pun jadi malas bertemu kalau ia sedang memasang wajah satuan disiplin.
Kalau tahu begini, dari dulu ia mendaftar menjadi panitia divisi medis, agar
bisa merawat dan menenangkan orang-orang seperti Mikael yang teraniaya. Sebenarnya
sih cowok itu saja yang ia inginkan.
Nila terlihat tertawa,
Mikael pun demikian. Felin sedikit menghilangkan niatnya kembali ke auditorium
demi memandang lebih lama ekspresi senang Mikael. Kenapa ya, senyum cowok itu
seperti memberi sugesti bahagia di kepalanya, perlahan melemaskan otot wajahnya
yang sudah dibuat tegang sejak kemarin. Apakah ia harus tersenyum? Untung alam
sadarnya kembali, ia sudah berkomitmen melarang bibirnya tersenyum.
***
Selesai masa orientasi
hari pertama, semua panitia mengadakan evaluasi pada divisi masing-masing.
Felin bersama teman-temannya yang sudah dijuluki senior iblis berkumpul
disamping auditorium. Kata-kata makian diucapkan Yudha saat memeriksa tugas
makalah yang dikerjakan oleh kelompok tiga, kelompoknya Mikael. Dari format
penulisan dan bahasa memang tidak ada yang salah, tapi pembahasannya berbelit
dan kesimpulan sama sekali nggak nyambung.
“Sumpah, bego! Entamoeba Coli
disamain sama Eschericia Coli.
Bisanya copas doang!”
“Yudha…! Lo asal ambil aja makalahnya!”
Dito, dari divisi acara tiba-tiba menghampiri mereka. Sejak panitia
dibentuk, Yudha memang sering berbeda pendapat dengan ketua acara. Sebenarnya
sih lebih ke dendam yang belum tersalur, karena tahun lalu ia selalu menjadi
bulan-bulanan senior. Setelah acara hari pertama pun ia iseng mengambil salah
satu makalah, dan menilainya bersama divisi satuan disiplin.
“Iya, nih! Nggak bakal gue jadiin bungkus gorengan kali!”
Cowok berkacamata itu misuh-misuh melihat sikap Yudha yang sering
seenaknya. Kalau sudah begini, pasti kesalahan peserta ketahuan dan divisi satuan
disiplin bisa saja melebih-lebihkan kesalahan mereka dan mencari hukuman
seenaknya.
“Lagian To, lo juga bakal tau kualitas adik kelas kita tuh kayak apa.
Makalahnya super nggak jelas gini”
Meta malah terbahak karena kapten divisinya semakin sok tau. Diam-diam,
Felin mengambil makalah dari tangan Yudha dan membacanya. Nama Mikael Turangan
tercetak paling atas di makalah itu. Memang benar apa kata Yudha, cowok itu
nggak tahu perbedaan dua E. Coli yang
berbeda dan mungkin karena sudah pusing langsung memasukannya ke dalam
pembahasan makalah, tapi kan mereka belum mengenyam bangku perkuliahan sama
sekali. Namanya juga fresh graduate from
senior high school.
“Gue denger, yang kerja cuma beberapa orang dari kelompok tiga. Sisanya
mengandalkan temannya. Lo tau nggak si Mikael yang tadi pagi sakit itu? Kata
Nila dia bergadang bikin makalah”
“Beneran?”
Felin nggak bisa diam mendengar cerita Meta, dugaannya benar. Mikael yang
kelihatannya penurut nggak mungkin bisa tidur membiarkan makalahnya
terbengkalai. Kalau selalu begini ia bisa sakit serius, tugas kelompok semakin
nggak beres, dan kelompoknya selalu bermasalah.
“Bener lah, tadi kan gue sempet ngobrol sama Nila pas istirahat. Jadi
kayaknya mereka ngebagi tugasnya nggak adil gitu. Si Mikael dapetnya paling
berat, yang lain leyeh-leyeh”
“Taun depan Dia pasti jadi The next
Yudha deh, jadi senior super galak karena dendam”
Dito mengambil makalah dari Felin, dan segera pergi sebelum cowok
bertumbuh gempal itu mengumpatnya.
Mikael itu salah apa
sih sampai ditempatkan satu kelompok dengan orang-orang egois seperti itu?
Lagipula kenapa baiknya keterlaluan dan ia tidak bisa membantah? Felin kembali
kesal melihat keadaan adik kelasnya. Kalau sudah begini ia yakin, makin banyak
masalah muncul jika tidak semua anggota kelompok bekerja dengan kompak. Felin
sudah berpengalaman merasakan masa orientasi dan ditindas senior galak setahun
lalu. Hati kecilnya semakin mendesak untuk membantu Mikael, tapi bagaimana
caranya? Lagipula apa urusannya harus khawatir dengan cowok bau kencur itu?
Sayangnya bayangan wajah Mikael semakin jelas dan Felin tidak terima jika
melihat Yudha menindasnya.
***
Berkali-kali Felin
menggosok kedua matanya, tetap wajah Mikael yang muncul. Lo nggak mimpi Felin!
Senyum Mikael sama saat dia tersenyum dengan Nila tadi, itu artinya dia nggak
membeda-bedakan lo dan Nila! Suara hati Felin berbicara sendiri. Sadar nggak
sadar, ia mengakui Mikael memiliki wajah manis tanpa atribut mahasiswa baru
yang aneh, meskipun rambutnya sudah dipangkas hingga satu senti.
“Maaf kak, uangnya jatuh”
Kalau bisa, Felin juga mau berlaku semanis mungkin, tersenyum dan
berterimakasih pada juniornya yang ternyata sudah memiliki banyak fans. Sayang,
otot wajah Felin tetap kaku, dan teringat tugasnya sebagai satuan disiplin yang
dingin belum berakhir.
“Thanks”
“Sama-sama kak”
Mikael mengerti cara tersenyum yang baik untuk menanggapi sikap Felin.
Gadis itu mulai meragukan eksistensinya sebagai manusia karena tidak bisa
membalas senyum Mikael, jangan-jangan ada genetik robot yang bersikap dingin
dan kaku di dalam DNA-nya.
“Sendiri? Mana temen-temen kelompok lo?”
Keduanya sempat menghalangi jalan, sebelum seorang bapak menegur. Mereka
bertemu di salah satu warung soto saat makan malam di dekat kampus, tepatnya di
kawasan tempat tinggal mahasiswa.
“Ini saya mau ke rumah Dio Kak, mau bikin tugas bareng”
Bikin tugas bareng? Felin benar-benar menunggu hasilnya terwujud.
Sepulang evaluasi tadi, Nila memang bercerita banyak apa yang terjadi dengan
kelompok Mikael. Semua anggota menumpahkan tugas yang berat pada ketua kelompok,
yaitu Mikael.
“Berhasil atau nggaknya suatu kelompok, ditentukan dari solidnya tim
itu. Lo pilih aja, mau lulus masa
orientasi apa nggak”
“Siap kak, saya nggak akan lupa sama kata-kata kakak. Saya boleh duluan
kak?”
Felin semakin bingung Mikael ini terbuat dari apa, ia lembut, manis,
tenang, dan polos. Ia hanya bisa mengangguk, membiarkan lelaki itu berlalu.
Kadang Felin berpikir
posisinya sebagai satuan disiplin memang sudah melekat dengan kepribadiannya
sejak dulu. Ia berbeda dengan anggota lainnya yang bisa dingin dan galak di
depan anak baru sementara di balik layar mereka tertawa dan bercanda seperti
biasa. Felin juga bukan keturunan singa, ia hanya manusia yang sulit
mengekspresikan perasaannya. Saat bernyanyi dianggap membaca sajak, sementara
kalau wajahnya judes sedikit, orang lain malah menyangka marah betulan.
Menyedihkan memang.
***
Masa orientasi berjalan
lancar sesuai skenario panitia, kedatangan mahasiswa tingkat akhir secara
tiba-tiba memang sudah direncanakan. Mereka boleh menyalurkan emosi sesuka hati
asal jangan keterlaluan. Tentu tidak ada yang tahu kalau perasaan Felin sedang
gusar melihat Mikael harus menjadi bulan-bulanan satuan disiplin dan kakak
kelasnya. Cowok kurus itu terlalu sabar. Seandainya tidak ada yang melarang,
Felin sudah maju membentengi Mikael dan melawan mereka semua. Di sisi lain
perasaannya, ia sadar kalau Mikael itu cowok, semoga mentalnya lebih kuat
meskipun wajahnya terlihat rapuh.
Mendengar Yudha
membentak dan berteriak memaki Mikael ia ingin melayangkan bogem ke mulut cowok
itu, melihat Kak Sindu mendorong dengan kasar, rasanya satu pukulan siap
bersarang di dadanya, kalau selalu begini lama-lama ia menjadi psikopat. Felin
menghela nafas panjang sambil kembali menatap seorang gadis yang hanya menunduk
sejak ia mendekat. Satu langkah ia maju, gadis itu terlihat gemetar. Payah,
padahal Mikael diserang jauh lebih hebat dari ini dan ia tetap stay, tidak
kelihatan mau mati seperti gadis ini. Untuk menambahkan kesan kecewa, Felin
hanya berdecak kesal dan meinggalkan auditorium.
Otak dan kakinya seperti berkomplot melakukan rencana di luar akal
sehat, dalam beberapa detik tubuhnya sudah sampai di sebuah warung dekat gedung
fakultas. Sebotol teh rasa madu sudah berada di tangannya. Seperti dugaannya,
acara bentak-membentak sudah selesai. Mahasiswa baru sedang melaksanakan istirahat,
dan di auditorium hanya tersisa beberapa panitia. Berbekal kemampuan aura yang
invisible, karena kedatangannya jarang disadari orang. Dengan mudah Felin masuk
ke auditorium dan segera menemukan tas karung milik Mikael, minuman teh yang
baru ia beli dimasukan ke dalam karung penuh tempelan name tag.
***
Felin nggak ngerti, kenapa pemandangan di depannya bisa terlihat begitu
menarik dan membuat perasaannya campur aduk. Senang, bangga, dan tidak akan ada
kata bosan untuk memandangi Mikael yang tampak bingung menemukan sebotol
minuman teh di tasnya. Cowok itu terlihat heran namun sejurus kemudian membuka
segel dan tutup botol dengan brutal lalu menenggak minuman itu sepuasnya. Felin
yakin, Mikael haus luar biasa setelah berlari keliling kampus bersama mahasiswa
baru lainnya. Ia sudah nggak peduli dengan apa yang dilakukannya itu diluar
batas normal seorang anggota satuan disiplin, seandainya ketahuan pun ia sudah
siap menerima sanksinya. Mikael diujung sana masih memandangi botol teh, lalu
meminumnya lagi. Felin suka tatapannya yang serius, kenapa ya bisa membuat otot
wajahnya lebih rileks, dan ternyata menjadi sulit untuk menahan senyum.
“Heh!”
Tangan Yudha tiba-tiba mendarat di kepalanya, orang itu menatapnya
dengan tatapan tajam. Ah bodoh, ia bisa lupa diri gara-gara Mikael.
“Katanya profesional?!”
Felin segera berdiri, merapikan pakaiannya, lalu menodorng tubuh Yudha
yang berada di depannya.
Setelah teh spesial,
Felin merasa semakin nekat memberikan sesuatu untuk Mikael. Seharian itu, ia
sudah pandai menyelinap memberikan apapun yang lelaki itu butuhkan. Dari mulai
kunci jawaban untuk melewati pos pertanyaan, sampai permen-permen kecil untuk
sekedar menyegarkan cowok itu. Dari kejauhan ia hanya bisa tersenyum dalam
hati, menikmati ekspresi bingung Mikael menemukan beberapa hadiah kecil
darinya. Felin sadar ini benar-benar diluar kebiasaan. Memang masih jauh kalau
ia menyebutnya sebagai rasa sayang, yang ia tahu hanyalah merasakan perasaan
serupa dengan Mikael, senang bersama sedih bersama.
***
Kalau Felin diajak bermain
truth or dare, mungkin ia akan menyatakan, cuma orang bodoh yang nggak
sadar betapa menariknya Mikael. Semakin lama, cowok itu berjalan mendekat dan
tersenyum santun padanya. Oh tidak, ia belum siap menerima sikap manis Mikael
secepat ini. Felin hanya diam di tempat, sementara senyum cowok itu semakin
nyata.
“Kak, kertasnya jatuh”
Felin membeku, seluruh otot wajahnya kaku. Ia merasa sulit tersenyum di
depan Mikael.
“Thanks”
Nada suara Felin bahkan tidak melembut sama sekali. Hatinya memandangi
Mikael penuh sayang, tapi ia merasa gila dengan output ekspresinya yang semakin
sukar diatur untuk sedikit saja bersikap manis di depan Mikael.
“Permisi kak”
Mikael mengangguk sopan, dan ingin berbalik badan. Sebaiknya memang
menahan lelaki itu, karena ia tidak bisa beramah tamah di depan Mikael. Senyum
dan sapanya malah dibalas Felin dengan wajah datar cenderung jutek. Felin
merasa gugup sampai ia bingung harus berbuat apa di depan Mikael, yang keluar
hanyalah sikap dinginnya.
***
“Eh, kabar Mas L gimana? Gue penasaran, siapa orangnya Fel. Kasih tau
dong…”
Meta mendesak tubuh Felin tiba-tiba, gadis itu hanya bisa senyum-senyum.
Tuh kan, di belakang Mikael Felin bisa menjadi manusia normal. Mas L yang
dimaksud Meta adalah Mikael, inisial L diambil dari huruf belakang namanya.
Felin masih malu kalau harus mengaku ia sudah jatuh bangun gara-gara adik
kelasnya itu, yang jelas Meta tahu kalau sohibnya itu terlihat sayang pada
cowok yang ia rahasiakan.
“Gue bisa gila Ta, Perasaan hati dan ekspresi gue nggak bisa sinkron.
Gue pengen banget sekali aja bisa bermanis-manis di depan dia. Kalau gue jutek
terus, mana dia tahu kalau sebenernya gue ini…”
“Gue apa?”
“Tapi gue juga, belum siap kalau dia tahu perasaan gue”
Meta langsung menoyor kepala Felin dengan semena-mena. Dari pertama
kenal, ia sudah tahu kalau sikap cewek ini memang dingin dan gengsi, terutama
untuk urusan perasaan.
“Fel, nggak ada kata gengsi kalau lo suka sama seseorang. Semuanya butuh
pengorbanan. Lo bisa kok, nunjukin perasaan lo dengan cara lo sendiri. Nggak
harus agresif”
“Gimana caranya?”
“Seharusnya sih, Mas L itu sadar ya kalau lo lebih jutek ke dia daripada
cowok-cowok lain. Tapi… kalau gue jadi cowok gue juga nggak ngerti sama sikap
lo Fel”
Sekarang giliran Felin yang menoyor kepala Meta, lama-lama obrolan
mereka tidak akan sampai ke titik terang.
“Mungkin pelan-pelan lo harus sedikit lebih manis di depan dia, tapi
jangan terlau drastis juga berubahnya. Bisa kan? Alami aja”
Felin menghela nafas panjang, ia harus merubah sikapnya yang dingin
mulai sekarang. Beruntung, masih ada praktikum Anatomi yang mempertemukannya
dengan Mikael. Sebagai kakak kelas yang menjadi asisten praktikum mungkin ia
akan berusaha bersikap baik di depan Mikael di sana. Akhirnya ia merasa
pikirannya lebih terang.
“Oke, gue siap Ta! Thanks ya!”
Sebelum tersenyum lebar, Felin menepuk bahu Meta dengan keras hingga
gadis itu mengaduh. Mau tidak mau Meta ikut tertawa kecil. Kejadian Felin jatuh
cinta memang jarang, semoga ada pertanda bagus untuknya, Meta hanya bisa berdoa
sambil melihat punggung sahabatnya yang menjauh.
***
Felin menghela nafas
panjang, lalu melirik kertas ujian milik Mikael yang ada di tangannya. Ia
diberi amanat oleh dosen untuk memberikan langsung hasil ujian milik Mikael
karena mendapat nilai tertinggi. Praktikum anatomi baru saja berakhir beberapa
menit yang lalu, cowok yang sejak tadi membuatnya gelisah masih betah mengobrol
di depan lab sambil merapikan tasnya. Berapa menit lagi kah, waktu yang Felin
punya untuk bersiap sebelum menemui Mikael? Semua kata-kata Meta benar, ia
harus membuang gengsi yang selangit. Pasti gara-gara gengsi, sifat juteknya
selalu muncul saat ia harus berhadapan dengan Mikael.
Felin mengambil langkah
pertama, berjalan keluar lab untuk menghampiri Mikael. Ia bersyukur cowok itu
masih disana, sambil sesekali tersenyum sambil mengobrol. Langkah kedua, Felin
mulai gugup berada di jarak yang hampir dekat. Langkah ketiga, ia berharap
Mikael tidak pergi karena cowok itu mulai menatap ke kiri dan menunjukan
gelagat ingin beranjak. Langkah keempat… Felin berhenti melangkah saat Mikael
tersenyum ke arah kiri. Tanpa bisa dicegah, cowok itu berlari kecil menjauh,
diujung sana seorang gadis tersenyum menyambutnya. Senyum Mikael begitu manis,
tatapannya jauh lebih lembut, dan ia menggenggam jemari gadis itu yang akan
mengiringi langkahnya.
Oksigen di bumi seakan
lenyap, sesuatu yang menohok benar-benar membuat Felin terdiam. Jarinya
membiarkan kertas ujian milik Mikael lepas begitu saja dari genggaman. Ia tidak
tahu kalau ada yang lebih menyakitkan dari ditusuk pisau. Seakan dunia sudah
kehilangan warna, karena Mikael tidak bisa diraihnya lagi. Cowok itu jauh lebih
bahagia bersama gadis di sampingnya, gadis yang bahkan sudah dijadikan Felin
sebagai tempatnya berbagi. Namun, Meta sudah memiliki Mikael lebih dulu.
***
Takdir di tangan Tuhan.
Hanya itu yang bisa dipegang teguh oleh seorang Felin. Hari-harinya tidak ada
yang berubah. Dari sudut kantin, Mikael masih tetap menarik meski sedang
bersama Meta sekalipun. Perasaannya memang sudah komplikasi setelah kedekatan
keduanya tidak asing lagi di mata Felin. Ingin membenci Meta, tapi rasanya
kurang bijak karena gadis itu tidak bersalah. Felin hanya bisa menitipkan
Mikael pada sahabatnya, saat senang, sedih, susah. Ia yakin, Meta adalah wanita
yang tepat untuk mendampingi Mikael. Mungkin memiliki itu tidak harus, meskipun
perasaannya hancur saat Meta bisa memiliki Mikael sepenuh hati.
Mungkin, ia bisa
menjadi lebih kuat setelah berhari-hari mendengar dongeng Meta seputar kisahnya
dengan Mikael. Hanya senyum dan tawa yang menghiasi wajah Meta saat bercerita.
Sudah ia bilang, hanya orang bodoh yang tidak jatuh cinta dengan seorang
Mikael. Hanya rasa kebersamaan sebagai seorang teman yang menguatkan Felin.
Meta bahagia, ia pun harus merasakan hal yang sama. Hingga suatu hari, Meta
membaca komik yang ditunjukan padanya sepulang kuliah.
“Fel, lo tau nggak apa itu tsundere?”
“Hmmm? Makanan jenis baru?”
Meta terbahak, sambil menggeser posisi duduknya mendekat. Mungkin
Mikael, bisa lebih bahagia mendengar tawa Meta setiap hari dibanding melihat
wajahnya yang jutek.
“Tokoh di komik ini ternyata tsundere, dan mirip lo banget”
“Kok bisa?”
Felin berusaha antusias, tapi bayangannya berputar diantara Mikael dan
Meta.
“Tsundere itu, orang yang luarnya keras, dingin, pokoknya orang yang
nggak kenal pasti ngelihat orang itu nggak ada baik-baiknya sama sekali. Tapi
di dalam hati, dia sebenarnya ingin banget mengungkapkan rasa sayang, meskipun
susah. Mereka punya cara sendiri untuk mengungkapkan sayang, meskipun ekspresi
yang keluar malah jutek, dingin. Elo banget kan?”
Ingin tidak tersenyum, tapi Felin tidak tega dengan sikap Meta yang
begitu ceria.
“Gue berharap, bisa denger kabar baik lo dan Mas L. Semoga bisa cepet
nyusul kita ya”
Mungkin Felin harus bersyukur dengan tingkat ekspresinya yang di bawah
rata-rata, ia bisa saja menangis mendengar doa Meta barusan.