Monday, December 5, 2011

My Doodles (part 1)





Fafa berbaring diranjang single bed Sesa yang empuk. Kepergian saudaranya ke luar kota selama satu bulan cukup memberi banyak keuntungan untuknya. Pertama, kalau ia sudah sumpek dengan suasana kamarnya yang semrawut, ia bisa langsung mengungsi ke kamar Sesa yang rapi dan wangi. Kedua, kakak merangkap instruktur sekolah kepribadiannya itu tidak akan membuka kelas kepribadian yang kadang membuatnya lelah. Ia tahu, tujuan Sesa memang sangat mulia, di tengah kesibukannya sebagai peserta Ko-asisten gadis yang usianya lebih tua dua tahun darinya itu masih perhatian dengannya. Apa mau dikata, kadang Fafa mau menuruti saran Sesa, dan pelan-pelan berkembang menjadi lebih terbuka, tapi kalau sudah tidak nafsu, omongan Sesa cuma jadi angin lalu.

Di detik yang bersamaan ponsel Fafa bergetar dan chat notification muncul. Kontak di ponsel dari Sesa, dan kontak di internet dari Diro. Gadis itu tersenyum lebar menatap layar laptopnya, maaf Sesa, sepertinya tangannya lebih tergerak untuk membalas pesan dari lelaki itu lebih dulu.

91Oridas: Fafafafafa

FaustaFausta: didididirororororo

Fafa tertawa sendiri, ia tahu tulisan itu memang tidak ada artinya. Sepertinya rasa gengsi mulai runtuh kalau ia sudah mengaku senang bisa berinteraksi dengan orang yang memang berarti khusus untuknya. Baru saja menghempaskan punggung ke kursi, ponselnya sudah bergetar kembali, dan yang terpampang disana lagi-lagi nama "Sesa". Gadis itu sepertinya tahu kalau ia tidak mengirimkan pesan lagi, Fafa pasti akan lupa membalas pesan singkatnya. Dengan senyum menyeringai ia membaca kata-kata di layar ponsel dan segera mengetikan balasan untuk kakak semata wayangnya. Ternyata gadis itu cuma menanyakan pas foto miliknya, dan berpesan untuk menjaga kerapihan kamarnya, dasar bawel. Menit-menit berikutnya, Fafa mulai sibuk berkencan dengan laptopnya, membalas komentar di semua jejaring sosial miliknya, bermain game, dan yang terpenting mengobrol secara maya dengan Diro.

Menurutnya, lelaki diseberang sana itu mampu membuatnya mendapat wawasan baru, kalau begitu Diro sama dengan ayahnya saat mereka berdiskusi. Bukan, bukan itu maksudnya, yang berkesan darinya adalah ia mampu membuat Fafa tergelak saat membaca jokes atau tebak-tebakan lucu darinya, tapi teman-teman pria di kelasnya bahkan mampu membuatnya terbahak hingga menangis. Jadi apa yang spesial dari seseorang bernama Satria Sadiro?

Kalau sudah memikirkannya Fafa bisa termenung lama dan mulai mencari pembelaan diri. Awalnya Diro sukses membuatnya antusias karena pria itu juga menyukai primata sama sepertinya. Selanjutnya ia juga heran mengapa suasana juga bisa mencair meskipun primata sudah bukan lagi topik obrolan mereka. Diro lebih dari sekedar menyenangkan baginya. Suara dan tawa renyahnya sanggup membuat Fafa betah mendengarkan ceritanya tentang apapun, tatapan tajamnya bahkan bisa membuatnya membeku. Diro memang tidak terlalu tampan, tapi senyumnya akan membekas di otak hingga Fafa terlelap. Jatuh cinta memang kurang ajar, Fafa merasa bodoh kalau ia mulai tersenyum sendiri, dan yang paling sial ia akan merasa kehilangan kalau tidak ada komunikasi dengannya lebih dari 24 jam. Diro sialan, bisa-bisanya setelah seminggu kenal ia merubah Fafa menjadi gadis yang terserang virus merah jambu. Namun, begitu suara Diro memasuki telinganya, Fafa hanya mampu tersenyum dan menikmati pembicaraan ringan mereka.





Sebuah nissan march biru menghentikan laju mesinnya persis di depan pagar. Si pengemudinya keluar mobil untuk membuka pagar dengan wajah mengantuk. Sudah semalam ini sayup-sayup ia mendengar percakapan satu arah dari dalam rumahnya. Sepertinya percakapan lewat telepon, ia yakin si pemiliki suara itu masih normal karena tidak mungkin mengobrol sendirian. Selesai merapikan mobil dan mengunci pintu, Sesa berjalan perlahan menuju lantai dua. Ia benar-benar penasaran dengan siapa adiknya mengobrol. Bagus sekali, Fafa menutup pintu kamarnya dan yang bisa ia dengar hanya suaranya. Beberapa kali nama Bruce Wayne disebutnya, mungkin ia hanya mengobrol dengan teman kampusnya. Sesa tahu, adiknya masih jadi maniak Batman sampai sekarang, dan ada satu teman kampusnya yang juga setipe. Omong-omong pintu kamarnya dibiarkan terbuka dengan desktop yang masih menyala. Tadinya Sesa ingin langsung berteriak untuk sedikit ngomel, tapi pandangannya terhenti pada layar desktop. Banyak sekali kata "91Oridas" di sana. Setengah mati Sesa membayangkan siapa di balik nama itu. Bisa jadi teman kampusnya, ia jadi sedikit menyesal sudah jarang mengobrol ngalor ngidul dengan adiknya. Sepertinya seru kalau mendapati Fafa ternyata sedang dekat dengan seseorang, tapi rasanya jadi gondok kalau teman intensnya itu malah perempuan juga. Lihat saja, di Yahoo messenger ada Oridas, Email dari Oridas, tweet untuk Oridas, yang kurang cuma facebook, sekalian saja muncul blognya.

Sesa akui, ia ikut tersenyum sendiri membaca percakapan dua orang itu di dunia maya. Ada lelucon, obrolan tentang Primata, Batman, bahkan sesekali curhat. Sesa jadi gemas sendiri, pasti seru melihat perkembangan Fafa yang sekarang dekat dengan lawan jenis, semoga benar-benar lawan jenis. Tangannya jadi gatal untuk mengobrak-abrik identitas Oridas lebih jauh. Dengan cepat pointer menunjuk link profil Oridas dan sebuah nama muncul di layar laptop. "Satrio Sadiro" nama itu membuat Sesa terdiam lama, otaknya merewind tanpa ampun kenangan sialan itu, kesalahan yang sulit untuk dimaafkan diri sendiri.





Diro tahu pasti, usianya bukan remaja lagi. Jadi apa ia terlalu tua untuk merasakan jatuh cinta? Tentu saja tidak. Tuhan masih baik hati, memberinya perasaan itu setelah lama terkubur. Tidak sedikit sobat-sobatnya meremehkan dia untuk urusan perempuan. Ditinggal pacar satu kali, dan dibohongi pacar juga satu kali. Sejak itu ia jadi apatis dan seperti robot, semua wanita terlihat sama di matanya. Cerewet, egois, dan berwajah dua. Imbasnya, Diro sering berselisih dengan teman wanitanya, tidak sedikit yang menganggap lelaki itu menyebalkan. Ia sendiri tidak mau ambil pusing dicap jelek, tetap cuek seperti kafilah yang berjalan di depan anjing menggonggong.

Tanpa diminta, tabiat Diro yang sudah seperti manusia robot dilunakkan lagi. Semua ulah dia, gadis unik yang memiliki first impression Piyama Mashimaro dan celana pendek, tamparan di pipi Diro dalam rangka membunuh nyamuk, dan semua kisah-kisahnya tentang Primata. Ia yakin benar-benar bisa menilai wanita setelah bertemu Fafa. Gadis itu memang tomboy, rambut dipotong pendek, gaya berjalan seperti sersan, dan kulit yang kecoklatan karena sering terkena sinar matahari. Meski terlihat asal, Fafa menanggapinya bicara dengan baik,tidak hanya tentang primata. Intinya, gadis itu sukses membuat Diro mengakui kalau ia masih punya perasaan cinta. Bahkan ia sendiri masih sanksi berada di kampus Fafa yang letaknya berkilo-kilo meter dari kantornya, ia hanya berharap memiliki kesempatan bertemu dengannya. Bodohnya ia tidak tahu pukul berapa Fafa pulang, membayangkan bertemu dengannya saja sudah membuat Diro tersenyum sendiri. Sebenarnya jalan menuju ke rumah searah dengan kampusnya, ide gila Diro untuk turun dari bis lalu mondar mandir di depan gedung putih itu terlintas saat ia memikirkan perempuan bertawa melengking itu.

Ada perasaan kecewa karena sudah tiga puluh menit orang yang ia tunggu tidak juga muncul, itu memang resikonya, sok membuat kejutan tapi tidak ada persiapan yang matang. Dengan perasaan masih berharap, Diro akhirnya memusatkan pandangan pada Kopaja, mencari angkutan dengan nomor trayeknya, mungkin ia harus bersiap untuk pulang. Dari kejauhan dua angka di kopaja yang selalu ia cari itu muncul. Diro melambaikan tangan dan hendak berlari, tapi tiba-tiba saja tubuhnya terjerat oleh tas ranselnya sendiri. Hampir saja ia menyangka kecopetan sebelum melihat orang yang menarik tas nya. Orang itu menertawakan Diro, dan segera memasukan tangannya ke saku, berpura-pura ia tidak pernah menarik tasnya.
"Gue kira copet! Pede banget deh tarik-tarik tas gue, gimana kalo ternyata orang yang lo tarik tasnya bukan gue?"
Tawanya malah semakin susah dihentikan, ingin rasanya Diro mengacak rambutnya lalu membekap mulutnya agar gadis itu diam, tapi untuk menyentuh rambutnya saja ia merasa canggung.

"Sorry, sorry, gue suka nggak jelas. Rasanya lucu ngeliat lo disini, gue nggak nyangka aja"

"Lucu apa? Bagus atau jelek maksudnya?"

"bagus"

Fafa masih memamerkan giginya sambil terkekeh, apa dia tidak sadar, kalimatnya barusan hampir membuat Diro terbang. Jadi dia suka dengan kedatangannya? Rasanya seperti berdiri diatas air mancur yang meluap-luap. Belum lagi ia baru sadar kalau mereka akan berada di dalam bis yang sama sebelum Fafa turun di perempatan jalan kedua. Ini pertemuan ketiga mereka setelah kembali ke Jakarta. Meskipun semuanya dari inisiatif Diro, yang penting gadis itu terlihat senang menemuinya. Itu keuntungannya punya satu kesamaan hobi. Ia melupakan lelahnya dengan menemui Fafa sepulang kerja hanya untuk meminjamkan buku-buku tentang Kukang, selanjutnya ia berusaha membeli beberapa komik Batman dan menghadiahkannya lagi-lagi untuk Fafa. Belakangan ia baru tahu kalau gadis itu juga penggemar berat ksatria kelelawar dari warner bross. Sebelumnya ia sama sekali tidak pernah melakukan hal ini pada siapa pun, perhatian saja kurang. Entahlah, Diro tidak pernah tahu bagaimana cara Tuhan mempertemukan mereka, sebuah pertemuan singkat yang langsung membuat Fafa terlihat unik dan sangat berkesan untuknya. Ia sudah tidak peduli dengan prinsip apatisnya, yang jelas ia selalu ingin membuat gadis disampingnya tersenyum.

Tidak ada yang tahu angin apa yang membawa mereka turun dari bus dan memasuki pusat perbelanjaan. Rencananya Fafa memang ingin membeli keperluan yang dititipkan ibunya, tapi tentu saja Diro belum ingin melepasnya dan pasti akan mengekor sebelum keduanya benar-benar pulang ke rumah. Sepanjang jalan lelaki berkulit cokelat itu tidak pernah kehabisan ide untuk membuatnya tertawa. Seringkali Diro memandangi eskpresi gelak tawa Fafa, beberapa gurat akan terlihat di pipinya, gadis itu semakin unik. Menuju sebuah kedai es krim, langkah Fafa terhenti, ia menatap malas pemandangan di depannya.

"Hey, kenapa?"

"Gue males ketemu mereka. Mereka itu mulutnya menyebar kemana-mana. Gue nggak mau jadi bahan gosip mereka"

"memangnya apa yang bisa digosipkan dari kita?"

Semakin langkah mereka mendekati toko es krim, Fafa menarik lengan kemeja Diro. Wajahnya sedikit salah tingkah, matanya tidak fokus lagi kalau menatap Diro. Apa dia gugup? Laki-laki itu tersenyum senang. Ia semakin mendekati Fafa dengan memandang wajahnya lebih dekat.

"Yaa... Lo tau kan bagaimana kerja gossip girl kalo ngeliat cewek yang selama ini sendirian tiba-tiba jalan bareng seseorang"

Fafa melihat kesana kemari, ia berakting waspada dari teman-teman kampusnya, tapi Diro tau gadis itu sedang menghindar dari tatapan matanya.

"Memangnya ada apa dengan kita? Bukannya ini seharusnya terjadi?"

Fafa makin bingung dengang tanggapan-tanggapan Diro. Apa maksudnya?

"Mereka nggak salah Fa, gue ngg... boleh kita bicara aku kamu?"

Gadis berambut pendek itu benar-benar kaku. Semuanya di luar ekspektasi. Apa iya, Diro akan... Tapi ia juga tidak mau berharap yang terlalu tinggi, takut diluar harapan. Pikirannya saja sudah blank saat pria itu tiba-tiba menggenggam tangannya dan menuntunnya masuk ke kedai es krim itu. Benar kata Fafa, sekumpulan gadis itu langsung berbisik melihat kedatangan mereka. Gerakan Fafa jadi seperti robot, karena rasa gugupnya mempengaruhi gerak ototnya. Diro membawa mereka duduk di sudut kedai. Ia benar-benar kehilangan nyali menatap laki-laki itu, respon tatapannya hanya akan membuat jantungnya bekerja rodi.

"Kamu bukan anak kecil yang harus malu kalau diejek temannya pacaran dengan seseorang. Usia kita beda dua tahun kan? Aku dua puluh dua, kamu dua puluh. See, umur kamu bahkan sudah berkepala dua"

Fafa tidak mampu lagi membalas tanggapan Diro, ia hanya meringis.

"Wajar saja, sepasang wanita dan pria berjalan bersama. Mereka bisa jadi sahabat baik, atau... Memang ada perasaan khusus. Menurutmu kita yang mana?"

Oh Tuhan, pertanyaan macam apa yang ia ajukan? Tadinya Fafa bisa fokus dengan dua hal. Mengawasi sekumpulan penggosip itu dan tetap fokus di depan Diro. Tapi sekarang mata dan pikirannya hanya terpusat pada lelaki di depannya. Pendapatnya memang benar, Diro adalah orang paling kurang ajar yang secara tiba-tiba bisa membuatnya menjadi robot yang kehilangan sistem.

"Bisa jawab Fa? Aku traktir kamu apa pun kalau kamu mau jawab"

"Diro... Aku.. Aku.."

"jangan bilang, aku... Aku sakit perut, Ro"

Fafa memukul lengannya keras, ia mengaduh lalu mengelus-ngelus bekas pukulan gadis itu. Tawanya tetap tidak bisa dihentikan. Ia senang melihat ekspresi gugup Fafa, meskipun ada juga rasa cemas kalau gadis itu hanya menganggapnya sebagai sahabat baik.

"So, gimana? Sudah punya jawaban dan siap untuk traktiranku?"

Gadis itu menarik nafas panjang lalu menggigit bibirnya. Diro berusaha menahan gemasnya pada orang satu itu.

"oke.. Jujur, aku.. Aku nggak pernah merasa terganggu dekat dengan teman cowokku. Tapi sejak kamu datang, kamu seenaknya buat aku gugup, buat aku merasa bodoh kalau tiba-tiba tersenyum sendiri. You definitely damn angel"

Diro tertawa, tangannya terulur dan menggenggam jemari Fafa. Suhunya turun mendadak, jari-jari itu terasa dingin.

"Kamu kira aku nggak merasa bodoh? Sudah bertahun-tahun aku hanya seperti robot, nggak punya perasaan. Dan semua berubah saat aku kenal kamu. Kamu seperti ambisi untukku, ambisi untuk selalu membuatmu senang, dan nyaman berada di sampingku. Jadi kamu nggak perlu takut tentang tanggapan mereka, karena memang ada sesuatu diantara kita"

"Tuh kan, kamu emang robot sialan! Bisa-bisanya langsung membuka topik obrolan kayak gini. Kamu nggak mikirin jantungku kalau berdenyut terlalu keras"

Fafa malah meremas tangan Diro di genggamannya. Lelaki itu meringis lagi sambil terbahak

"Hey, kamu kira aku nggak kepengen mati untuk melakukan semua yang ada diotakku? Aku cuma pengen kamu tau, karena nggak mungkin lagi ditunda. Aku beneran sayang kamu Fa"

Fafa bingung mau bicara apa lagi, ia hanya bisa menarik sudut bibirnya untuk tersenyum malu-malu. Jujur, ini diluar perkiraannya. Mereka memang sudah mengenal selama sebulan, dan menurutnya itu sangat diluar kebiasaan ia mampu membuka isi kepalanya di depan orang yang memang ia suka, apalagi tentang semua perasaannya. Bahkan mungkin Diro sendiri tidak akan terpikirkan untuk nekat memngungkap perasaan kalau tidak ada sekumpulan penggangu sekaligus pendukung itu. Mereka akhirnya keluar dari kedai es krim setelah melahap dessert sejuk itu sambil bergandengan tangan. Sejarah pertama dalam hidup Fafa.

No comments:

Post a Comment